Haaiii hhaiii semuaa... :) Silahkan yang butuh naskah drama untuk acara tutup tahun atau lain sebagainya. Belum perfect siih, tapi semoga bisa membantu. Untuk kritik, saran, atau mungkin request silahkan ke laelasafitri93@yahoo.com :)
~RADEN AJENG KARTINI~
Narator
: Raden Ajeng Kartini, sosok pahlawan
emansipasi wanita yang telah berhasil memperjuangkan hak yang kini didapatkan
oleh para wanita Indonesia. Dimana para wanita Indonesia kini dapat mengenyam
pendidikan yang setara dengan kaum lelaki. Berbeda dengan saat terdahulu,
dimana kaum wanita hanya bisa menggantungkan nasibnya pada adat istiadat
setempat. Seperti halnya Raden Ajeng Kartini yang hanya bisa mengenyam
pendidikan dasar, dan itupun tidak sampai tuntas.
Terkisahlah
pada tahun 1891, Raden Ajeng Kartini harus mengakhiri masa belajar bersama
kawan-kawannya di sekolah, yang kemudian harus menerima pinangan dari seorang
bangsawan asal Rembang.
STEP 1
Ayah Kartini :
“Kartini... Kemarilah Nak. Kartini.. Kartiniiiiiiiiii”
Kartini : “Ayah memanggilku,
ada apa?”
Ayah Kartini :
“Kartini, aku ingin berbicara padamu.”
Kartini : “Bicaralah
Ayah, aku akan mendengarkan.”
Ayah Kartini :
“Kartini, dua hari yang lalu Raden Aryo Singgih telah datang kepadaku, dia
mengutarakan keinginan hatinya untuk meminangmu.”
Kartini : “Meminangku,
Ayah? Diusiaku yang sebelia ini? Tidak Ayah. Aku tidak mau.”
Ayah Kartini : “Nak,
sudah waktunya kau menikah. Terimalah pinangan dari Raden Aryo Singgih. Dia
adalah seorang bangsawan Rembang, bersamanya hidupmu akan tercukupi.”
Kartini : “Ini bukan
masalah kecukupan hidupku Ayah, tapi masa depanku.”
Ayah Kartini : “Masa
depanmu telah berada di depan mata. Setelah menikah nanti, itulah masa
depanmu.”
Kartini : “Tidak Ayah.
Bukan itu yang aku maksud. Aku tau Ayah, menikah berarti memberhentikan
sekolahku. Dan aku tidak menginginkannya. Aku ingin tetap bersekolah Ayah.”
Ayah Kartini :
“Kartini!” (membentak)
Kartini : “Ayah, jangan
paksa aku.”
Ayah Kartini : “Jangan
mencoba untuk membantah lagi Kartini.”
Kartini : “Ayah, aku hanya
ingin sekolah. Aku tidak ingin dinikahkan terlebih dahulu.”
Ayah Kartini : “Ini
adalah ketetapan adat istiadat, Kartini. Setelah dipingit, kini tibalah saatnya
agar kau menikah.”
Kartini : “Aku mengerti
Ayah, tapi setelah menikah hidupku tak lagi sama. Aku ingin menjadi wanita yang
berpendidikan, Ayah. Untuk kali ini saja, ijinkan aku untuk bersekolah seperti
mereka. Aku mohon Ayah” (Kartini berlutut
kepada Ayahnya)
Ayah Kartini : “Tidak!
Aku adalah ayahmu. Akulah yang berhak menentukan masa depanmu. Kau tak perlu
meneruskan sekolahmu itu Kartini. Bisa menulis dan membaca itupun sudah cukup.
Kau akan tetap menikah.”
Kartini : “Ayah . . .”
Ayah
Kartini meninggalkan Kartini.
Kartini : “Apakah semua
wanita harus sepertiku? Hanya diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan dasar
dan kemudian harus dinikahkan. Sedangkan mereka, kaum lelaki, mereka bisa
merasakan pendidikan dengan tingkatan yang lebih tinggi. Mereka berhak
memimpin. Mereka berhak berbicara. Itu semua karena mereka berpendidikan.
Sedangkan aku? Apa hakku? Apa yang bisa kukatakan dan apa yang bisa kulakukan?
Kini aku hanya bisa berdiam diri, menerima dan menuruti perintah Ayah. Ini
semua tak adil bagiku” (monolog)
STEP 2
Narator
: Kartini berjalan dan terus berjalan, mencari tempat untuknya mencurahkan
kepedihan. Di dalam benaknya hanya terpikirkan sosok para sahabatnya yang kerap
dengan setia mendengarkan keluh dan kesahnya.
Dilain
sisi Rosa Abendanon baru saja menerima sebuah surat dari Kartini, dan ia pun
membacanya.
Rosa : (membaca sebuah surat) “Kepada
sahabatku, Rosa Abendanon.
Bahasa mana sebenarnya,
meskipun kita kuasai dengan baik, dapat mengutarakan getaran jiwa
setepat-tepatnya, bahasa semacam itu tidak ada, hanya ada bahasa yang ajaib
yang tak terucapkan, yang tak berwujud kata-kata maupun lambang huruf, tetapi
artinya dapat dipahami oleh siapapun yang memiliki perasaan. Bahasa yang
demikian itu adalah bahasa mata yang suci nan bersih, cermin jiwa yang cerah.
Saya sangat sayang pada
kaum wanita, saya menaruh hati pada nasibnya. Karena dia tidak dihargai dan
ditindas seperti yang masih terdapat pada banyak negeri dalam abad yang terang
ini.
Tertanda, Kartini.”
Tiba-tiba
Kartini datang.
Kartini : “Rosa...”
Rosa : “Kartini..” (Rosa menggapai tangan Kartini)
Kartini : “Apa kau datang
bersama Stella dan Van Kol? Mana mereka?”
Rosa : “Mereka tak
bersamaku Kartini.”
Kartini : “Mengapa? Apa
mereka sakit? Atau mereka pergi bersama?”
Rosa : “Tidak Kartini. Perlu
kau mengerti. Stella, Van Kol dan juga diriku akan pergi ke Belanda. Kami akan
memulai pendidikan yang lebih tinggi disana.”
Kartini : “Rosa.. Jangan
katakan jika kau akan meninggalkanku Rosa. Aku mengerti, kau pasti akan
membawaku bersama kalian kan?”
Rosa : “Maafkan kami
Kartini. Tapi kami memang harus meninggalkanmu. Kami tau Ayahmu tak akan
mengijinkanmu pergi ke Belanda.”
Kartini : “Lalu
bagaimana denganku? Apa kau tau Rosa, seorang bangsawan Rembang telah datang
kepada Ayahku. Dia ingin meminangku, Rosa. Dan Ayahku pun menyetujuinya.
Sedangkan aku? Aku akan berhenti bersekolah.”
Rosa : “Kartini, aku
tau ini berat bagimu. Tapi terimalah Kartini, karena ini adalah adat
istiadatmu.”
Kartini : “Jadi Rosa?
Kau tak lagi mempedulikanku?”
Rosa : “Bukan itu
maksudku Kartini. Tapi ini adalah
perintah dari Ayahmu. Dan kau pun pasti lebih mengerti bagaimana sikap Ayahmu
itu.”
Kartini : “Rosa,
bawalah aku bersamamu. Agar aku bisa tetap bersekolah. Dan aku pun tak perlu
menerima pinangan dari bangsawan Rembang itu.”
Rosa : “Maafkan aku
Kartini, tapi aku tak bisa melakukannya. Dan sekaranglah waktunya untukku
pergi, Kartini.”
Kartini : “Tapi Rosa...
Rosa...”
Rosa
meninggalkan Kartini. Namun Kartini berusaha mengejarnya.
STEP 3
Narator
: Kepedihannya kini benar-benar tak terungkapkan. Masa sekolahnya harus
terhenti dan dengan tiba-tiba para sahabatnya meninggalkan Kartini. Di dalam
hati Kartini masih tersimpan secercah harapan untuk belajar. Hari-harinya ia
isi dengan menulis surat kepada Tuan dan Nyonya Abendanon yang merupakan
orangtua dari sahabatnya. Mereka telah seperti orangtua Kartini. Kartini terus
bercerita tentang kehidupannya yang tak lagi bersekolah itu. Hingga Tuan
Abendanon pun memberikan beasiswa kedokteran kepadanya.
Kartini : “Ayah..
Ayah.. Aaayyyyyaaaaaaaaahhhhh” (Kartini
berteriak)
Ayah Kartini : “Ada apa
Nak? Apa yang membuatmu senang seperti ini? Tak pantas seorang gadis berteriak
seperti itu!”
Kartini : “Ayah, aku
mendapatkan beasiswa kedokteran di Belanda. Berhari-hari aku menulis dan
berkirim surat tentang pendidikanku Ayah, dan kini aku mendapatkan beasiswa
untuk belajar di Belanda.”
Ayah Kartini :
“Darimana kau mendapatkannya?”
Kartini : “Dari Tuan
Abendanon, dia adalah ayah dari sahabatku. Ayah, ijinkan aku untuk pergi ke
Belanda.”
Ayah Kartini : “Tidak
Kartini, pendidikan itu memang penting. Apalagi dengan beasiswamu itu Ayah
mengerti kau tak akan merepotkan. Tapi Kartini, untuk seorang wanita tak pantas
untuk berpendidikan yang berlebihan.”
Kartini : “Ayah bilang
ini berlebihan? Apa maksud Ayah? Aku hanya ingin bersekolah, Ayah.”
Ayah Kartini : “Ah
sudahlah. Perintahku tetap sama dan tak bisa kau rubah. Kartini, Raden Aryo
Singgih telah datang dan bermaksud menemuimu.”
Aryo
Singgih menghampiri Ayah Kartini dan Kartini.
Ayah Kartini :
“Kemarilah Raden. Akan kutinggalkan kalian berdua. Bicaralah pada Kartini”
Kartini : “Ayahh..” (Kartini mencoba memanggil Ayahnya, namun
tak dihiraukan)
Raden Aryo Singgih : “Kartini,
bisakah aku meminta waktumu sebentar?”
Kartini : “Jika aku
berkata tidak pun, aku tau kau akan menyita sebagian waktuku.”
Raden Aryo Singgih :
“Kartini, tentunya kau telah mendengar ini dari Ayahmu. Bahwa aku ingin
meminangmu.”
Kartini : “Berhenti
membicarakan apa yang telah kuketahui Raden. Bukankah kau pun tau, untuk
berbicara tentang hal meminang kau hanya perlu mengutarakannya pada ayahku.
Sedangkan ayahku pun tak meminta kesediaan dari diriku.”
Raden Aryo Singgih :
“Mungkin yang kau katakan itu memang benar Kartini. Tapi perlu kau ketahui, aku
meminangmu karna aku mencintaimu.”
Kartini : “Cinta?? Kau
bilang sebuah hasrat untuk memiliki adalah cinta? Sederhana sekali pemikiranmu
itu Raden.”
Raden Aryo Singgih :
“Tapi memang itulah yang aku rasakan Kartini.”
Kartini : “Itulah
bedanya cinta yang kau miliki dengan cinta yang ada pada diriku Raden.”
Raden Aryo Singgih :
“Aku tak mengerti maksud perkataanmu itu Kartini.”
Kartini : “Berbicara
tentang cinta, dalam diri ini pun tersimpan sebuah cinta Raden. Namun cinta
yang kupunya bukanlah cinta seperti yang kau anggap. Cinta ini bukanlah sekedar
ingin memiliki. Cinta yang kusimpan sejak lama, adalah cinta yang tertuju pada
mereka, pada kaum wanita.”
Raden Aryo Singgih :
“Kartini, apa maksudmu? Aku benar-benar tak mengerti.”
Kartini : “Raden,
jawablah pertanyaanku dahulu. Jika kau memiliki cinta pada seseorang, apa yang
akan kau lakukan untuk mendapatkannya?”
Raden Aryo Singgih :
“Tentu akan aku perjuangkan cintaku, Kartini.”
Kartini : “Begitu pula
cinta ini Raden, aku pun ingin memperjuangkan cintaku. Aku ingin memerdekakan
kaumku dari kebodohan. Dan untuk itu, tentunya akupun harus berpendidikan
Raden.”
Raden Aryo Singgih :
“Kini aku mengerti, Kartini. Tapi, bagaimana dengan ayahmu? Bukankah ia ingin
agar kau menikah? Dan akupun menginginkan agar kau menikah denganku.”
Kartini : “Ayahku
menikahkanku karna kau yang meminangku, Raden. Ini semua ada pada dirimu.”
Raden Aryo Singgih :
“Jadi kau ingin agar aku membatalkan pinanganku?”
Kartini : “Tentu Raden.
Memang itu yang aku inginkan. Aku ingin tetap bersekolah. Dan cara satu-satunya
agar aku dapat bersekolah adalah menolak pinangan ini.”
Raden Aryo Singgih :
“Lalu bagaimana dengan cintaku Kartini? Tak pantaskah aku merasakan cinta? Ini
tak adil. Kartini, biarkan aku memperjuangkan cintaku ini. Aku berjanji akan
berbicara pada ayahmu tentang keinginanmu untuk bersekolah.”
Kartini : “Lalu
bagaimana jika ayahku tetap melarangku untuk bersekolah?”
Raden Aryo Singgih :
“Baiklah, jika ayahmu tetap melarang, aku akan tetap mendukung cita-citamu itu.
Akan kudirikan sekolah sebagai tempat untukmu belajar dan mengajar.”
Kartini : “Apakah ini
cukup untuk meyakinkanku, Raden?”
Raden Aryo Singgih :
“Iya Kartini, kau bisa memegang janjiku. Jika nanti aku mengingkarinya, kau
berhak melakukan apapun yang kau mau.”
Kartini : “Jika memang
benar ucapanmu itu, akan kupercayai kata-katamu. Dan akan kuterima pinanganmu
Raden.”
Raden Aryo Singgih :
“Terimakasih Kartini.”
Kartini : “Aku yang
memang harus berterimakasih atas kebaikanmu Raden. Terimakasih.”
Raden Aryo Singgih :
“Terimakasih kembali Kartini. Aku akan pergi menemui ayahmu sekarang juga”
Raden
Aryo Singgih meninggalkan Kartini.
Kartini : “Kupanjatkan
syukur pada-Mu, Tuhan. Entah apa rencana-Mu. Tapi dengan kehendak-Mu aku akan
kembali mengenyam pendidikan yang sempat kutinggalkan. Dan aku berjanji, aku
akan menjunjung harkat kaumku. Akan kuperjuangkan pendidikanku bersama kaum
wanita. Akan kudapatkan hakku bersama mereka. Dan akan kurubah dunia ini
menjadi lebih baik lagi.” (monolog)
Narator
: Inilah janji Kartini. Inilah cita-citanya. Memperjuangkan hak wanita untuk
mendapatkan apa yang seharusnya ia dan kaumnya dapatkan. Dan beruntunglah
kalian, para kaum wanita. Yang kini telah merasakan apa yang seharusnya
didapatkan. Gunakan dan perjuangkanlah hak kalian sebagaimana mestinya.
===
THE END ===
Bagus kak, sangat bermanfaat dan menambah referensi bagi adik-adik untuk belajar bermain peran, mengisi kegiatan hari kartini. Mohon ijin copas kak, bila diperkenankan.
BalasHapus