Kupersembahkan cerita pendek ini untuk Ibunda
tercinta J
[kritik & saran silahkan ke laelasafitri93@yahoo.com]
“SAJAK CINTA UNTUK BUNDA”
Gadis kecil dengan mata bundar dan bibir tipis itu mencengkram dadanya
sendiri. Ia masih saja menggigit bibir dan merintih kecil. Namun rasa sakitnya
tak begitu ia hiraukan.
“Bunda...
Bunda..” ia berlari menghampiri ibunya.
“Ada
apa sayang?”
“Bunda,
aku membuat puisi ini untuk Bunda.” Ucapnya dengan gembira.
“Iya
sayang, Bunda tau.”
“Emm..
Bunda, aku ingin Bunda membacanya.”
“Sayang,
Bunda sibuk. Mungkin lain kali Bunda akan membacanya. Simpan saja puisi itu.”
“Tapi
Bun..”
“Aiska,
Bunda harus pergi sekarang.”
Ibunya
kemudian berlalu mengabaikan gadis kecil yang masih saja berdiri dengan raut
kecewanya.
Aiska
terus saja menunggu ibunya kembali ke rumah sampai larut malam, hingga ia pun
tertidur. Tak seberapa lama terdengar suara hills
ibunya dan Aiska pun kembali
terjaga. Ia pun berlari menuju sumber suara.
“Bunda...
Bunda sudah sampai? Bunda, sekarang ayo baca puisi yang aku buat.”
“Aiska,
Bunda lelah. Bunda harus istirahat.”
“Tapi
Bunda, aku ingin Bunda membacanya.”
“Simpanlah,
besok akan Bunda baca. Sekarang tidurlah.”
Untuk
kesekian kalinya Aiska merasa kecewa pada ibunya. Dengan lesu ia pun berjalan
menuju kamarnya. Aiska memandangi kertas yang ada pada tangan kanannya, sedang
tangan kirinya mencengkram dada.
“Kenapa
Bunda tidak mau membacanya sekali saja?” Batinnya.
Di
kamarnya Aiska menangis, airmatanya terus saja menetes hingga ia terlelap.
Mentari
bersinar, sebuah harapan selalu muncul dalam hati Aiska saat burung-burung
berkicauan kala pagi mendatang.
“Bunda..
Bundaa.. Bundaaa...” Aiska berteriak memanggil ibunya, dan lagi dengan tangan
yang masih mencengkram dadanya sendiri.
“
‘Bunda’ sudah pergi Non.” Jawab seorang wanita paruh baya di hadapan Aiska.
“Pergi
kemana Bi?”
“Ke
Bandung. Dan ‘Bunda’ pesan supaya Bibi jagain
Non Aiska selama 2 hari.”
“Dua
hari Bi?”
Wanita
yang ia panggil ‘Bibi’ hanya mengangguk dan berlalu melanjutkan pekerjaannya.
Aiska tertunduk lemas. Hilang sudah harapannya. Ia
kemudian berlari menuju kamarnya. Tubuh mungilnya terbanting begitu saja.
Tangannya menyambar bantal guling dan ia pun menangis. Lagi dan lagi Aiska
menangis dengan alasan yang sama. Mata bundarnya kini terlihat sembab.
“Non,
ayo makan. Hari ini Bibi masak makanan kesukaan Non Aiska lohh.”
“Aiska
belum pengen makan, Bi.” Aiska
menjawab dengan lemas.
“Dari
pagi kan Non belum makan?”
Aiska
tak lagi menghiraukan suara dari balik pintu kamarnya. Ia mengunci diri selama
dua hari, berharap ibunya akan pulang dan mengetuk pintunya. Namun ternyata
harapan Aiska sia-sia.
Kini
bibirnya terlihat pucat, matanya sayu, suhu badannya pun tinggi.
Aiska mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya, namun
pandangannya mulai kabur. Dan semua terlihat gelap.
“Donor hati Dok?”
“Benar Bu. Dan harus secepatnya, karena putri ibu
telah lama mengidap penyakit ini. Jika tidak, mungkin putri ibu tidak bisa
diselamatkan.”
Lelaki berpakaian putih itu kemudian meninggalkan
ruangan dimana Aiska kini terbaring sedang ibunya tengah terisak.
“Bu-bunda.. Itu Bunda?” ucapnya lemah.
“Iya Aiska, Bunda disini sayang.”
Aiska hanya memandangi ibunya yang kini menangis di
hadapannya. Tangan kecilnya mengusap lembut pipi sang Bunda yang berlinangan
airmata.
“Bunda, jangan pergi lagi. Aiska berjanji tidak akan lagi
meminta Bunda untuk membaca puisi yang Aiska buat.”
Aiska tersenyum lemah, airmatanya pun menetes.
Tangannya meraih dadanya sendiri, Aiska merintih.
Ibunya menjadi semakin panik, ia hanya bisa berteriak
mencari pertolongan.
“Dokterrr.. Dokktteerrr..”
Aiska terus saja merintih. Tangan mungilnya semakin
keras mencengkram. Tetapi perlahan cengkraman itu mulai terlepas. Bibirnya
mengembang, matanya kian terpejam, nafasnya terhenti, jiwanya kini melayang
bagai sebuah kapas tertiup angin.
Lelaki berpakaian putih itu kembali datang. Tetapi
terlambat sudah, semuanya telah usai.
“Dok, tolong selamatkan anak saya. Saya yang akan
mendonorkan hati saya untuknya. Ambil saja hati saya, Dok.”
Wanita yang penuh linangan
airmata ini terus saja memohon dengan tangisnya. Namun tetap saja, Aiska telah
tiada. Ia kini hanya bisa menangisi putri kecilnya yang telah tertutup kain
putih.
Aku hanyalah gadis
cilik tanpa cinta
Yang terlahir
dengan tangis diantara gelak tawa
Tapi siapakah
gadis cilik ini
Tanpa ada dirimu
Siapakah gadis
malang ini
Tanpa ada
hangatnya kasihmu
Apa jadinya aku
Bila sayangmu tak
mengiringiku
Mungkinkah dua
tangan ini tak lagi mencengkram dada
Akankah bibir ini
tak selalu merintih lara
Bisakah lisan ini
berhenti menangis sengsara
Entahlah
Yang kutahu
hanyalah satu
Gadis cilik ini
istimewa
Bila cintamu yang
memberi warna
Terimakasih Bunda
Bunda, maafkan aku
karena selalu meminta Bunda untuk membaca puisi yang aku buat. Bunda, aku tau
Bunda lelah karena terus menjagaku siang dan malam saat dadaku sesak dan
sakit.Aku berjanji tidak akan lagi merepotkan Bunda. Aku tidak akan lagi menangis
saat aku sakit. Dan aku tidak akan meminta Bunda untuk membaca puisiku lagi.
Wanita berbaju hitam itu hanya bisa tertunduk lesu
dengan butiran bening dari matanya. Lembaran kertas biru dengan tinta merah itu
kembali mengingatkannya pada Aiska.
== END J ==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar