Sabtu, 02 September 2017

DUNIA MIMPI (real story)

Minggu, 03 September 2017

Hari ini kutuliskan sebuah kisah dalam dunia mereka yang kerap kuanggap tiada.
Tapi kini aku mengenal mereka. Sosok tersembunyi dalam sebuah mimpi.
Kupandang dua bocah dengan wajah kumalnya, berdiri pada ambang pintu kala senja.
Satu dari mereka dengan sebuah tongkat kayu di tangan kiri-nya. Sedang bocah lainnya terdiam tanpa kata.
Diriku kini hanya merasakan udara dingin dalam gelap. Menerawang tanpa aba dan kalimat.
Siapakah dua bocah malang ini yang tampak dengan penuh luka, meraung bak singa tanpa induknya. Tapi tetap saja, bola mata mereka menunjukkan ketidakpastian dalam angan.

Senin, 22 Mei 2017

SAJAK HATI NAN LARA

SAJAK HATI NAN LARA

Percuma saja

Bila mata ini mencoba berpaling

Dua tangan ini mencoba menepis

Dan lisan ini mengucap rela

Tetap saja

Hati ini masih bersamanya

Meski diri ini kerap merasa rapuh

Meski asa ini telah hilang bersama angin yang berderu

Semua telah terukir dalam kalbu

Biarlah saja

Hati yang tersayat ini merasakan lara

Dan biarlah saja


Rasa yang menyakitkan ini kujadikan kenangan istimewa

CEKIKAN WANITA TUA

CEKIKAN WANITA TUA

Rambutnya yang andan

Wajahnya yang penuh luka

Juga matanya yang begitu tajam

Menyorotku dari kejauhan

Memperhatikanku dengan penuh selidik kemarahan

Melesat bagai kilatan cahaya dalam kisar angin

Mendekatiku dengan amarah yang tak lagi terpendam

Dua tangannya penuh dengan cucuran merah kental

Aroma tubuhnya bagai bangkai ikan tertelantarkan


------------------------

Minggu, 14 Mei 2017

Cinta yang Hilang

CINTA YANG HILANG

Biar kunikmati rasa yang terhenti ini
Kurasakan bagaimana rapuhnya hatiku
Yang perlahan mulai menghancurkan diriku sendiri

Kuingat bagaimana kau genggam tangan ini
Kau usap lembut pipi ini
Dan kau teduhkan hati ini hanya dengan tatapanmu

Biarkan saja aku melepas semua memori itu
Semua memori yang selalu membawaku padamu
Meski untuk membayangkannya saja aku tak mampu

Akan kucoba melupakanmu
Walau harus kukorbankan hatiku

Hingga selamanya kau akan menjadi yang terlupakan

"Jiwa nan Melayang"

JIWA NAN MELAYANG

Biarkan sejenak mata ini terpejam
Hati ini merasakan sunyi dalam gelap
Kemudian diri ini terlelap
Abaikan saja jika jiwaku melayang
Bagai kapas terbang mengikuti satu pancaran cahaya
Dan bila nanti kubuka mata ini
Telah kulihat 4-5 ribu jiwa tanpa raganya
Mereka yang berdiam di tempatnya
Menangis dan merenungi masa hidupnya
Dan kulihat satu sosok yang mulai merangkak
Mendekatiku dengan penuh keraguan
Dua katup bibirnya berkata “Pulanglah”
Kulihat bagaimana dia membalikkan badannya
Dan berlalu bersama hembusan angin kencang
Hati ini masih saja bersama rasa bimbang
Kubiarkan langkah kaki ini yang menentukan
Berjalan dan terus berjalan
Kutinggalkan secercah cahaya yang kian meredup
Kupalingkan pandanganku dari jiwa-jiwa yang mulai berteriak
Dan kini kulihat dua pintu berjajar
Satu pintu dengan kilauan bak intan
Sedang pintu yang lain tampak tersihir oleh kegelapan
Jiwa-jiwa itu masih saja berteriak
Mereka mengucapkan kata yang sama
“Pulanglah”
Salah satu dari mereka mengisyaratkan dengan telunjuknya
Pintu yang berkilau itu
Mereka memberiku arah padanya
Namun hati ini masih saja bimbang
Kemanakah aku harus pulang?
Lagi dan lagi mereka berteriak
Kupejamkan dua mata ini
Berdegap hati dan kulangkahkan lagi kaki ini
Kurasakan bagaimana jiwa ini kembali melayang
Mengikuti kemilau cahaya yang begitu terang
Hatiku yang kini berbicara

“Aku pulang”

Senin, 08 Mei 2017

Cerpen "SAJAK CINTA UNTUK BUNDA"

Kupersembahkan cerita pendek ini untuk Ibunda tercinta J
[kritik & saran silahkan ke laelasafitri93@yahoo.com]

“SAJAK CINTA UNTUK BUNDA”
Gadis kecil dengan mata bundar dan bibir tipis itu mencengkram dadanya sendiri. Ia masih saja menggigit bibir dan merintih kecil. Namun rasa sakitnya tak begitu ia hiraukan.
“Bunda... Bunda..” ia berlari menghampiri ibunya.
“Ada apa sayang?”
“Bunda, aku membuat puisi ini untuk Bunda.” Ucapnya dengan gembira.
“Iya sayang, Bunda tau.”
“Emm.. Bunda, aku ingin Bunda membacanya.”
“Sayang, Bunda sibuk. Mungkin lain kali Bunda akan membacanya. Simpan saja puisi itu.”
“Tapi Bun..”
“Aiska, Bunda harus pergi sekarang.”
Ibunya kemudian berlalu mengabaikan gadis kecil yang masih saja berdiri dengan raut kecewanya.
Aiska terus saja menunggu ibunya kembali ke rumah sampai larut malam, hingga ia pun tertidur. Tak seberapa lama terdengar suara hills ibunya dan Aiska pun kembali terjaga. Ia pun berlari menuju sumber suara.
“Bunda... Bunda sudah sampai? Bunda, sekarang ayo baca puisi yang aku buat.”
“Aiska, Bunda lelah. Bunda harus istirahat.”
“Tapi Bunda, aku ingin Bunda membacanya.”
“Simpanlah, besok akan Bunda baca. Sekarang tidurlah.”
Untuk kesekian kalinya Aiska merasa kecewa pada ibunya. Dengan lesu ia pun berjalan menuju kamarnya. Aiska memandangi kertas yang ada pada tangan kanannya, sedang tangan kirinya mencengkram dada.
“Kenapa Bunda tidak mau membacanya sekali saja?” Batinnya.
Di kamarnya Aiska menangis, airmatanya terus saja menetes hingga ia terlelap.
Mentari bersinar, sebuah harapan selalu muncul dalam hati Aiska saat burung-burung berkicauan kala pagi mendatang.
“Bunda.. Bundaa.. Bundaaa...” Aiska berteriak memanggil ibunya, dan lagi dengan tangan yang masih mencengkram dadanya sendiri.
“ ‘Bunda’ sudah pergi Non.” Jawab seorang wanita paruh baya di hadapan Aiska.
“Pergi kemana Bi?”
“Ke Bandung. Dan ‘Bunda’ pesan supaya Bibi jagain Non Aiska selama 2 hari.”
“Dua hari Bi?”
Wanita yang ia panggil ‘Bibi’ hanya mengangguk dan berlalu melanjutkan pekerjaannya.
Aiska tertunduk lemas. Hilang sudah harapannya. Ia kemudian berlari menuju kamarnya. Tubuh mungilnya terbanting begitu saja. Tangannya menyambar bantal guling dan ia pun menangis. Lagi dan lagi Aiska menangis dengan alasan yang sama. Mata bundarnya kini terlihat sembab.


“Non, ayo makan. Hari ini Bibi masak makanan kesukaan Non Aiska lohh.”
“Aiska belum pengen makan, Bi.” Aiska menjawab dengan lemas.
“Dari pagi kan Non belum makan?”
Aiska tak lagi menghiraukan suara dari balik pintu kamarnya. Ia mengunci diri selama dua hari, berharap ibunya akan pulang dan mengetuk pintunya. Namun ternyata harapan Aiska sia-sia.
Kini bibirnya terlihat pucat, matanya sayu, suhu badannya pun tinggi.
Aiska mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya, namun pandangannya mulai kabur. Dan semua terlihat gelap.


“Donor hati Dok?”
“Benar Bu. Dan harus secepatnya, karena putri ibu telah lama mengidap penyakit ini. Jika tidak, mungkin putri ibu tidak bisa diselamatkan.”
Lelaki berpakaian putih itu kemudian meninggalkan ruangan dimana Aiska kini terbaring sedang ibunya tengah terisak.
“Bu-bunda.. Itu Bunda?” ucapnya lemah.
“Iya Aiska, Bunda disini sayang.”
Aiska hanya memandangi ibunya yang kini menangis di hadapannya. Tangan kecilnya mengusap lembut pipi sang Bunda yang berlinangan airmata.
“Bunda, jangan pergi lagi. Aiska berjanji tidak akan lagi meminta Bunda untuk membaca puisi yang Aiska buat.”
Aiska tersenyum lemah, airmatanya pun menetes. Tangannya meraih dadanya sendiri, Aiska merintih.
Ibunya menjadi semakin panik, ia hanya bisa berteriak mencari pertolongan.
“Dokterrr.. Dokktteerrr..”
Aiska terus saja merintih. Tangan mungilnya semakin keras mencengkram. Tetapi perlahan cengkraman itu mulai terlepas. Bibirnya mengembang, matanya kian terpejam, nafasnya terhenti, jiwanya kini melayang bagai sebuah kapas tertiup angin.
Lelaki berpakaian putih itu kembali datang. Tetapi terlambat sudah, semuanya telah usai.
“Dok, tolong selamatkan anak saya. Saya yang akan mendonorkan hati saya untuknya. Ambil saja hati saya, Dok.”
Wanita yang penuh linangan airmata ini terus saja memohon dengan tangisnya. Namun tetap saja, Aiska telah tiada. Ia kini hanya bisa menangisi putri kecilnya yang telah tertutup kain putih.


Aku hanyalah gadis cilik tanpa cinta
Yang terlahir dengan tangis diantara gelak tawa
Tapi siapakah gadis cilik ini
Tanpa ada dirimu
Siapakah gadis malang ini
Tanpa ada hangatnya kasihmu
Apa jadinya aku
Bila sayangmu tak mengiringiku
Mungkinkah dua tangan ini tak lagi mencengkram dada
Akankah bibir ini tak selalu merintih lara
Bisakah lisan ini berhenti menangis sengsara
Entahlah
Yang kutahu hanyalah satu
Gadis cilik ini istimewa
Bila cintamu yang memberi warna
Terimakasih Bunda

Bunda, maafkan aku karena selalu meminta Bunda untuk membaca puisi yang aku buat. Bunda, aku tau Bunda lelah karena terus menjagaku siang dan malam saat dadaku sesak dan sakit.Aku berjanji tidak akan lagi merepotkan Bunda. Aku tidak akan lagi menangis saat aku sakit. Dan aku tidak akan meminta Bunda untuk membaca puisiku lagi.
Wanita berbaju hitam itu hanya bisa tertunduk lesu dengan butiran bening dari matanya. Lembaran kertas biru dengan tinta merah itu kembali mengingatkannya pada Aiska.


== END J ==

Selasa, 25 April 2017

Naskah Drama "Riwayat R.A Kartini"

Haaiii hhaiii semuaa... :) Silahkan yang butuh naskah drama untuk acara tutup tahun atau lain sebagainya. Belum perfect siih, tapi semoga bisa membantu. Untuk kritik, saran, atau mungkin request silahkan ke laelasafitri93@yahoo.com :) 

~RADEN AJENG KARTINI~


Narator : Raden Ajeng  Kartini, sosok pahlawan emansipasi wanita yang telah berhasil memperjuangkan hak yang kini didapatkan oleh para wanita Indonesia. Dimana para wanita Indonesia kini dapat mengenyam pendidikan yang setara dengan kaum lelaki. Berbeda dengan saat terdahulu, dimana kaum wanita hanya bisa menggantungkan nasibnya pada adat istiadat setempat. Seperti halnya Raden Ajeng Kartini yang hanya bisa mengenyam pendidikan dasar, dan itupun tidak sampai tuntas.
Terkisahlah pada tahun 1891, Raden Ajeng Kartini harus mengakhiri masa belajar bersama kawan-kawannya di sekolah, yang kemudian harus menerima pinangan dari seorang bangsawan asal Rembang.

STEP 1
Ayah Kartini : “Kartini... Kemarilah Nak. Kartini.. Kartiniiiiiiiiii”

Kartini : “Ayah memanggilku, ada apa?”

Ayah Kartini : “Kartini, aku ingin berbicara padamu.”

Kartini : “Bicaralah Ayah, aku akan mendengarkan.”

Ayah Kartini : “Kartini, dua hari yang lalu Raden Aryo Singgih telah datang kepadaku, dia mengutarakan keinginan hatinya untuk meminangmu.”

Kartini : “Meminangku, Ayah? Diusiaku yang sebelia ini? Tidak Ayah. Aku tidak mau.”

Ayah Kartini : “Nak, sudah waktunya kau menikah. Terimalah pinangan dari Raden Aryo Singgih. Dia adalah seorang bangsawan Rembang, bersamanya hidupmu akan tercukupi.”

Kartini : “Ini bukan masalah kecukupan hidupku Ayah, tapi masa depanku.”

Ayah Kartini : “Masa depanmu telah berada di depan mata. Setelah menikah nanti, itulah masa depanmu.”

Kartini : “Tidak Ayah. Bukan itu yang aku maksud. Aku tau Ayah, menikah berarti memberhentikan sekolahku. Dan aku tidak menginginkannya. Aku ingin tetap bersekolah Ayah.”

Ayah Kartini : “Kartini!” (membentak)

Kartini : “Ayah, jangan paksa aku.”

Ayah Kartini : “Jangan mencoba untuk membantah lagi Kartini.”

Kartini : “Ayah, aku hanya ingin sekolah. Aku tidak ingin dinikahkan terlebih dahulu.”

Ayah Kartini : “Ini adalah ketetapan adat istiadat, Kartini. Setelah dipingit, kini tibalah saatnya agar kau menikah.”

Kartini : “Aku mengerti Ayah, tapi setelah menikah hidupku tak lagi sama. Aku ingin menjadi wanita yang berpendidikan, Ayah. Untuk kali ini saja, ijinkan aku untuk bersekolah seperti mereka. Aku mohon Ayah” (Kartini berlutut kepada Ayahnya)

Ayah Kartini : “Tidak! Aku adalah ayahmu. Akulah yang berhak menentukan masa depanmu. Kau tak perlu meneruskan sekolahmu itu Kartini. Bisa menulis dan membaca itupun sudah cukup. Kau akan tetap menikah.”

Kartini : “Ayah . . .”

Ayah Kartini meninggalkan Kartini.

Kartini : “Apakah semua wanita harus sepertiku? Hanya diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan dasar dan kemudian harus dinikahkan. Sedangkan mereka, kaum lelaki, mereka bisa merasakan pendidikan dengan tingkatan yang lebih tinggi. Mereka berhak memimpin. Mereka berhak berbicara. Itu semua karena mereka berpendidikan. Sedangkan aku? Apa hakku? Apa yang bisa kukatakan dan apa yang bisa kulakukan? Kini aku hanya bisa berdiam diri, menerima dan menuruti perintah Ayah. Ini semua tak adil bagiku” (monolog)

STEP 2
Narator : Kartini berjalan dan terus berjalan, mencari tempat untuknya mencurahkan kepedihan. Di dalam benaknya hanya terpikirkan sosok para sahabatnya yang kerap dengan setia mendengarkan keluh dan kesahnya.
Dilain sisi Rosa Abendanon baru saja menerima sebuah surat dari Kartini, dan ia pun membacanya.

Rosa : (membaca sebuah surat) “Kepada sahabatku, Rosa Abendanon.
Bahasa mana sebenarnya, meskipun kita kuasai dengan baik, dapat mengutarakan getaran jiwa setepat-tepatnya, bahasa semacam itu tidak ada, hanya ada bahasa yang ajaib yang tak terucapkan, yang tak berwujud kata-kata maupun lambang huruf, tetapi artinya dapat dipahami oleh siapapun yang memiliki perasaan. Bahasa yang demikian itu adalah bahasa mata yang suci nan bersih, cermin jiwa yang cerah.
Saya sangat sayang pada kaum wanita, saya menaruh hati pada nasibnya. Karena dia tidak dihargai dan ditindas seperti yang masih terdapat pada banyak negeri dalam abad yang terang ini.
Tertanda, Kartini.”

Tiba-tiba Kartini datang.

Kartini : “Rosa...”

Rosa : “Kartini..” (Rosa menggapai tangan Kartini)

Kartini : “Apa kau datang bersama Stella dan Van Kol? Mana mereka?”

Rosa : “Mereka tak bersamaku Kartini.”

Kartini : “Mengapa? Apa mereka sakit? Atau mereka pergi bersama?”

Rosa : “Tidak Kartini. Perlu kau mengerti. Stella, Van Kol dan juga diriku akan pergi ke Belanda. Kami akan memulai pendidikan yang lebih tinggi disana.”

Kartini : “Rosa.. Jangan katakan jika kau akan meninggalkanku Rosa. Aku mengerti, kau pasti akan membawaku bersama kalian kan?”

Rosa : “Maafkan kami Kartini. Tapi kami memang harus meninggalkanmu. Kami tau Ayahmu tak akan mengijinkanmu pergi ke Belanda.”

Kartini : “Lalu bagaimana denganku? Apa kau tau Rosa, seorang bangsawan Rembang telah datang kepada Ayahku. Dia ingin meminangku, Rosa. Dan Ayahku pun menyetujuinya. Sedangkan aku? Aku akan berhenti bersekolah.”

Rosa : “Kartini, aku tau ini berat bagimu. Tapi terimalah Kartini, karena ini adalah adat istiadatmu.”

Kartini : “Jadi Rosa? Kau tak lagi mempedulikanku?”

Rosa : “Bukan itu maksudku Kartini.  Tapi ini adalah perintah dari Ayahmu. Dan kau pun pasti lebih mengerti bagaimana sikap Ayahmu itu.”

Kartini : “Rosa, bawalah aku bersamamu. Agar aku bisa tetap bersekolah. Dan aku pun tak perlu menerima pinangan dari bangsawan Rembang itu.”

Rosa : “Maafkan aku Kartini, tapi aku tak bisa melakukannya. Dan sekaranglah waktunya untukku pergi, Kartini.”

Kartini : “Tapi Rosa... Rosa...”

Rosa meninggalkan Kartini. Namun Kartini berusaha mengejarnya.

STEP 3
Narator : Kepedihannya kini benar-benar tak terungkapkan. Masa sekolahnya harus terhenti dan dengan tiba-tiba para sahabatnya meninggalkan Kartini. Di dalam hati Kartini masih tersimpan secercah harapan untuk belajar. Hari-harinya ia isi dengan menulis surat kepada Tuan dan Nyonya Abendanon yang merupakan orangtua dari sahabatnya. Mereka telah seperti orangtua Kartini. Kartini terus bercerita tentang kehidupannya yang tak lagi bersekolah itu. Hingga Tuan Abendanon pun memberikan beasiswa kedokteran kepadanya.

Kartini : “Ayah.. Ayah.. Aaayyyyyaaaaaaaaahhhhh” (Kartini berteriak)

Ayah Kartini : “Ada apa Nak? Apa yang membuatmu senang seperti ini? Tak pantas seorang gadis berteriak seperti itu!”

Kartini : “Ayah, aku mendapatkan beasiswa kedokteran di Belanda. Berhari-hari aku menulis dan berkirim surat tentang pendidikanku Ayah, dan kini aku mendapatkan beasiswa untuk belajar di Belanda.”

Ayah Kartini : “Darimana kau mendapatkannya?”

Kartini : “Dari Tuan Abendanon, dia adalah ayah dari sahabatku. Ayah, ijinkan aku untuk pergi ke Belanda.”

Ayah Kartini : “Tidak Kartini, pendidikan itu memang penting. Apalagi dengan beasiswamu itu Ayah mengerti kau tak akan merepotkan. Tapi Kartini, untuk seorang wanita tak pantas untuk berpendidikan yang berlebihan.”

Kartini : “Ayah bilang ini berlebihan? Apa maksud Ayah? Aku hanya ingin bersekolah, Ayah.”

Ayah Kartini : “Ah sudahlah. Perintahku tetap sama dan tak bisa kau rubah. Kartini, Raden Aryo Singgih telah datang dan bermaksud menemuimu.”

Aryo Singgih menghampiri Ayah Kartini dan Kartini.

Ayah Kartini : “Kemarilah Raden. Akan kutinggalkan kalian berdua. Bicaralah pada Kartini”

Kartini : “Ayahh..” (Kartini mencoba memanggil Ayahnya, namun tak dihiraukan)

Raden Aryo Singgih : “Kartini, bisakah aku meminta waktumu sebentar?”

Kartini : “Jika aku berkata tidak pun, aku tau kau akan menyita sebagian waktuku.”

Raden Aryo Singgih : “Kartini, tentunya kau telah mendengar ini dari Ayahmu. Bahwa aku ingin meminangmu.”

Kartini : “Berhenti membicarakan apa yang telah kuketahui Raden. Bukankah kau pun tau, untuk berbicara tentang hal meminang kau hanya perlu mengutarakannya pada ayahku. Sedangkan ayahku pun tak meminta kesediaan dari diriku.”

Raden Aryo Singgih : “Mungkin yang kau katakan itu memang benar Kartini. Tapi perlu kau ketahui, aku meminangmu karna aku mencintaimu.”

Kartini : “Cinta?? Kau bilang sebuah hasrat untuk memiliki adalah cinta? Sederhana sekali pemikiranmu itu Raden.”

Raden Aryo Singgih : “Tapi memang itulah yang aku rasakan Kartini.”

Kartini : “Itulah bedanya cinta yang kau miliki dengan cinta yang ada pada diriku Raden.”

Raden Aryo Singgih : “Aku tak mengerti maksud perkataanmu itu Kartini.”

Kartini : “Berbicara tentang cinta, dalam diri ini pun tersimpan sebuah cinta Raden. Namun cinta yang kupunya bukanlah cinta seperti yang kau anggap. Cinta ini bukanlah sekedar ingin memiliki. Cinta yang kusimpan sejak lama, adalah cinta yang tertuju pada mereka, pada kaum wanita.”

Raden Aryo Singgih : “Kartini, apa maksudmu? Aku benar-benar tak mengerti.”

Kartini : “Raden, jawablah pertanyaanku dahulu. Jika kau memiliki cinta pada seseorang, apa yang akan kau lakukan untuk mendapatkannya?”

Raden Aryo Singgih : “Tentu akan aku perjuangkan cintaku, Kartini.”

Kartini : “Begitu pula cinta ini Raden, aku pun ingin memperjuangkan cintaku. Aku ingin memerdekakan kaumku dari kebodohan. Dan untuk itu, tentunya akupun harus berpendidikan Raden.”

Raden Aryo Singgih : “Kini aku mengerti, Kartini. Tapi, bagaimana dengan ayahmu? Bukankah ia ingin agar kau menikah? Dan akupun menginginkan agar kau menikah denganku.”

Kartini : “Ayahku menikahkanku karna kau yang meminangku, Raden. Ini semua ada pada dirimu.”
Raden Aryo Singgih : “Jadi kau ingin agar aku membatalkan pinanganku?”

Kartini : “Tentu Raden. Memang itu yang aku inginkan. Aku ingin tetap bersekolah. Dan cara satu-satunya agar aku dapat bersekolah adalah menolak pinangan ini.”

Raden Aryo Singgih : “Lalu bagaimana dengan cintaku Kartini? Tak pantaskah aku merasakan cinta? Ini tak adil. Kartini, biarkan aku memperjuangkan cintaku ini. Aku berjanji akan berbicara pada ayahmu tentang keinginanmu untuk bersekolah.”

Kartini : “Lalu bagaimana jika ayahku tetap melarangku untuk bersekolah?”

Raden Aryo Singgih : “Baiklah, jika ayahmu tetap melarang, aku akan tetap mendukung cita-citamu itu. Akan kudirikan sekolah sebagai tempat untukmu belajar dan mengajar.”

Kartini : “Apakah ini cukup untuk meyakinkanku, Raden?”

Raden Aryo Singgih : “Iya Kartini, kau bisa memegang janjiku. Jika nanti aku mengingkarinya, kau berhak melakukan apapun yang kau mau.”

Kartini : “Jika memang benar ucapanmu itu, akan kupercayai kata-katamu. Dan akan kuterima pinanganmu Raden.”

Raden Aryo Singgih : “Terimakasih Kartini.”

Kartini : “Aku yang memang harus berterimakasih atas kebaikanmu Raden. Terimakasih.”

Raden Aryo Singgih : “Terimakasih kembali Kartini. Aku akan pergi menemui ayahmu sekarang juga”

Raden Aryo Singgih meninggalkan Kartini.

Kartini : “Kupanjatkan syukur pada-Mu, Tuhan. Entah apa rencana-Mu. Tapi dengan kehendak-Mu aku akan kembali mengenyam pendidikan yang sempat kutinggalkan. Dan aku berjanji, aku akan menjunjung harkat kaumku. Akan kuperjuangkan pendidikanku bersama kaum wanita. Akan kudapatkan hakku bersama mereka. Dan akan kurubah dunia ini menjadi lebih baik lagi.” (monolog)

Narator : Inilah janji Kartini. Inilah cita-citanya. Memperjuangkan hak wanita untuk mendapatkan apa yang seharusnya ia dan kaumnya dapatkan. Dan beruntunglah kalian, para kaum wanita. Yang kini telah merasakan apa yang seharusnya didapatkan. Gunakan dan perjuangkanlah hak kalian sebagaimana mestinya.


=== THE END ===

DUNIA MIMPI (real story)

Minggu, 03 September 2017 Hari ini kutuliskan sebuah kisah dalam dunia mereka yang kerap kuanggap tiada. Tapi kini aku mengenal merek...