Senin, 22 Mei 2017

SAJAK HATI NAN LARA

SAJAK HATI NAN LARA

Percuma saja

Bila mata ini mencoba berpaling

Dua tangan ini mencoba menepis

Dan lisan ini mengucap rela

Tetap saja

Hati ini masih bersamanya

Meski diri ini kerap merasa rapuh

Meski asa ini telah hilang bersama angin yang berderu

Semua telah terukir dalam kalbu

Biarlah saja

Hati yang tersayat ini merasakan lara

Dan biarlah saja


Rasa yang menyakitkan ini kujadikan kenangan istimewa

CEKIKAN WANITA TUA

CEKIKAN WANITA TUA

Rambutnya yang andan

Wajahnya yang penuh luka

Juga matanya yang begitu tajam

Menyorotku dari kejauhan

Memperhatikanku dengan penuh selidik kemarahan

Melesat bagai kilatan cahaya dalam kisar angin

Mendekatiku dengan amarah yang tak lagi terpendam

Dua tangannya penuh dengan cucuran merah kental

Aroma tubuhnya bagai bangkai ikan tertelantarkan


------------------------

Minggu, 14 Mei 2017

Cinta yang Hilang

CINTA YANG HILANG

Biar kunikmati rasa yang terhenti ini
Kurasakan bagaimana rapuhnya hatiku
Yang perlahan mulai menghancurkan diriku sendiri

Kuingat bagaimana kau genggam tangan ini
Kau usap lembut pipi ini
Dan kau teduhkan hati ini hanya dengan tatapanmu

Biarkan saja aku melepas semua memori itu
Semua memori yang selalu membawaku padamu
Meski untuk membayangkannya saja aku tak mampu

Akan kucoba melupakanmu
Walau harus kukorbankan hatiku

Hingga selamanya kau akan menjadi yang terlupakan

"Jiwa nan Melayang"

JIWA NAN MELAYANG

Biarkan sejenak mata ini terpejam
Hati ini merasakan sunyi dalam gelap
Kemudian diri ini terlelap
Abaikan saja jika jiwaku melayang
Bagai kapas terbang mengikuti satu pancaran cahaya
Dan bila nanti kubuka mata ini
Telah kulihat 4-5 ribu jiwa tanpa raganya
Mereka yang berdiam di tempatnya
Menangis dan merenungi masa hidupnya
Dan kulihat satu sosok yang mulai merangkak
Mendekatiku dengan penuh keraguan
Dua katup bibirnya berkata “Pulanglah”
Kulihat bagaimana dia membalikkan badannya
Dan berlalu bersama hembusan angin kencang
Hati ini masih saja bersama rasa bimbang
Kubiarkan langkah kaki ini yang menentukan
Berjalan dan terus berjalan
Kutinggalkan secercah cahaya yang kian meredup
Kupalingkan pandanganku dari jiwa-jiwa yang mulai berteriak
Dan kini kulihat dua pintu berjajar
Satu pintu dengan kilauan bak intan
Sedang pintu yang lain tampak tersihir oleh kegelapan
Jiwa-jiwa itu masih saja berteriak
Mereka mengucapkan kata yang sama
“Pulanglah”
Salah satu dari mereka mengisyaratkan dengan telunjuknya
Pintu yang berkilau itu
Mereka memberiku arah padanya
Namun hati ini masih saja bimbang
Kemanakah aku harus pulang?
Lagi dan lagi mereka berteriak
Kupejamkan dua mata ini
Berdegap hati dan kulangkahkan lagi kaki ini
Kurasakan bagaimana jiwa ini kembali melayang
Mengikuti kemilau cahaya yang begitu terang
Hatiku yang kini berbicara

“Aku pulang”

Senin, 08 Mei 2017

Cerpen "SAJAK CINTA UNTUK BUNDA"

Kupersembahkan cerita pendek ini untuk Ibunda tercinta J
[kritik & saran silahkan ke laelasafitri93@yahoo.com]

“SAJAK CINTA UNTUK BUNDA”
Gadis kecil dengan mata bundar dan bibir tipis itu mencengkram dadanya sendiri. Ia masih saja menggigit bibir dan merintih kecil. Namun rasa sakitnya tak begitu ia hiraukan.
“Bunda... Bunda..” ia berlari menghampiri ibunya.
“Ada apa sayang?”
“Bunda, aku membuat puisi ini untuk Bunda.” Ucapnya dengan gembira.
“Iya sayang, Bunda tau.”
“Emm.. Bunda, aku ingin Bunda membacanya.”
“Sayang, Bunda sibuk. Mungkin lain kali Bunda akan membacanya. Simpan saja puisi itu.”
“Tapi Bun..”
“Aiska, Bunda harus pergi sekarang.”
Ibunya kemudian berlalu mengabaikan gadis kecil yang masih saja berdiri dengan raut kecewanya.
Aiska terus saja menunggu ibunya kembali ke rumah sampai larut malam, hingga ia pun tertidur. Tak seberapa lama terdengar suara hills ibunya dan Aiska pun kembali terjaga. Ia pun berlari menuju sumber suara.
“Bunda... Bunda sudah sampai? Bunda, sekarang ayo baca puisi yang aku buat.”
“Aiska, Bunda lelah. Bunda harus istirahat.”
“Tapi Bunda, aku ingin Bunda membacanya.”
“Simpanlah, besok akan Bunda baca. Sekarang tidurlah.”
Untuk kesekian kalinya Aiska merasa kecewa pada ibunya. Dengan lesu ia pun berjalan menuju kamarnya. Aiska memandangi kertas yang ada pada tangan kanannya, sedang tangan kirinya mencengkram dada.
“Kenapa Bunda tidak mau membacanya sekali saja?” Batinnya.
Di kamarnya Aiska menangis, airmatanya terus saja menetes hingga ia terlelap.
Mentari bersinar, sebuah harapan selalu muncul dalam hati Aiska saat burung-burung berkicauan kala pagi mendatang.
“Bunda.. Bundaa.. Bundaaa...” Aiska berteriak memanggil ibunya, dan lagi dengan tangan yang masih mencengkram dadanya sendiri.
“ ‘Bunda’ sudah pergi Non.” Jawab seorang wanita paruh baya di hadapan Aiska.
“Pergi kemana Bi?”
“Ke Bandung. Dan ‘Bunda’ pesan supaya Bibi jagain Non Aiska selama 2 hari.”
“Dua hari Bi?”
Wanita yang ia panggil ‘Bibi’ hanya mengangguk dan berlalu melanjutkan pekerjaannya.
Aiska tertunduk lemas. Hilang sudah harapannya. Ia kemudian berlari menuju kamarnya. Tubuh mungilnya terbanting begitu saja. Tangannya menyambar bantal guling dan ia pun menangis. Lagi dan lagi Aiska menangis dengan alasan yang sama. Mata bundarnya kini terlihat sembab.


“Non, ayo makan. Hari ini Bibi masak makanan kesukaan Non Aiska lohh.”
“Aiska belum pengen makan, Bi.” Aiska menjawab dengan lemas.
“Dari pagi kan Non belum makan?”
Aiska tak lagi menghiraukan suara dari balik pintu kamarnya. Ia mengunci diri selama dua hari, berharap ibunya akan pulang dan mengetuk pintunya. Namun ternyata harapan Aiska sia-sia.
Kini bibirnya terlihat pucat, matanya sayu, suhu badannya pun tinggi.
Aiska mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya, namun pandangannya mulai kabur. Dan semua terlihat gelap.


“Donor hati Dok?”
“Benar Bu. Dan harus secepatnya, karena putri ibu telah lama mengidap penyakit ini. Jika tidak, mungkin putri ibu tidak bisa diselamatkan.”
Lelaki berpakaian putih itu kemudian meninggalkan ruangan dimana Aiska kini terbaring sedang ibunya tengah terisak.
“Bu-bunda.. Itu Bunda?” ucapnya lemah.
“Iya Aiska, Bunda disini sayang.”
Aiska hanya memandangi ibunya yang kini menangis di hadapannya. Tangan kecilnya mengusap lembut pipi sang Bunda yang berlinangan airmata.
“Bunda, jangan pergi lagi. Aiska berjanji tidak akan lagi meminta Bunda untuk membaca puisi yang Aiska buat.”
Aiska tersenyum lemah, airmatanya pun menetes. Tangannya meraih dadanya sendiri, Aiska merintih.
Ibunya menjadi semakin panik, ia hanya bisa berteriak mencari pertolongan.
“Dokterrr.. Dokktteerrr..”
Aiska terus saja merintih. Tangan mungilnya semakin keras mencengkram. Tetapi perlahan cengkraman itu mulai terlepas. Bibirnya mengembang, matanya kian terpejam, nafasnya terhenti, jiwanya kini melayang bagai sebuah kapas tertiup angin.
Lelaki berpakaian putih itu kembali datang. Tetapi terlambat sudah, semuanya telah usai.
“Dok, tolong selamatkan anak saya. Saya yang akan mendonorkan hati saya untuknya. Ambil saja hati saya, Dok.”
Wanita yang penuh linangan airmata ini terus saja memohon dengan tangisnya. Namun tetap saja, Aiska telah tiada. Ia kini hanya bisa menangisi putri kecilnya yang telah tertutup kain putih.


Aku hanyalah gadis cilik tanpa cinta
Yang terlahir dengan tangis diantara gelak tawa
Tapi siapakah gadis cilik ini
Tanpa ada dirimu
Siapakah gadis malang ini
Tanpa ada hangatnya kasihmu
Apa jadinya aku
Bila sayangmu tak mengiringiku
Mungkinkah dua tangan ini tak lagi mencengkram dada
Akankah bibir ini tak selalu merintih lara
Bisakah lisan ini berhenti menangis sengsara
Entahlah
Yang kutahu hanyalah satu
Gadis cilik ini istimewa
Bila cintamu yang memberi warna
Terimakasih Bunda

Bunda, maafkan aku karena selalu meminta Bunda untuk membaca puisi yang aku buat. Bunda, aku tau Bunda lelah karena terus menjagaku siang dan malam saat dadaku sesak dan sakit.Aku berjanji tidak akan lagi merepotkan Bunda. Aku tidak akan lagi menangis saat aku sakit. Dan aku tidak akan meminta Bunda untuk membaca puisiku lagi.
Wanita berbaju hitam itu hanya bisa tertunduk lesu dengan butiran bening dari matanya. Lembaran kertas biru dengan tinta merah itu kembali mengingatkannya pada Aiska.


== END J ==

DUNIA MIMPI (real story)

Minggu, 03 September 2017 Hari ini kutuliskan sebuah kisah dalam dunia mereka yang kerap kuanggap tiada. Tapi kini aku mengenal merek...